Senin, 31 Oktober 2016

Berpiknik Unik di Vihara BuddhaGaya Semarang





Temenku berbaju merah yang masuk frame :(

Kedamaian dan keindahan dalam perbedaan. Hal inilah yang aku rasakan saat untuk kedua kalinya aku berkunjung ke Semarang. Perjalanan kali ini memang dirancang "mendadak" oleh dua orang temanku. Setelah melalui diskusi panjang dan melelahkan tentang waktu yang pas untuk ke Semarang, akhirnya hari itu kami sepakat berangkat. Walau sebenarnya ada banyak orang yang harusnya berangkat, setelah melalui seleksi alam, hanya kami berempat dengan dua motor yang siap menuju Semarang.

Wisata ke Semarang saat itu membawa sedikit misi yang berbeda. Kami berempat sepakat untuk berkunjung ke beberapa tempat ibadah terkenal yang ada di Semarang. Saat itu, kami ingin melihat Semarang dari sisi yang lain. Berharap akan menemukan keunikan dan pesona yang tersembunyi dari kota lumpia tersebut.

Tujuan pertama setelah tiba di Semarang adalah Vihara BuddhaGaya Watugong. Letaknya sangat mudah dijangkau bagi kami yang datang dari arah Yogyakarta. Vihara ini terletak cukup dekat dan akan terlihat dari jalan raya. Maklum saja, Vihara ini pernah mendapat rekor MURI karena di dalamnya terdapat pagoda tertinggi di Indonesia. Wow!!

Kami disambut satpam penjaga dengan ramah dan diarahkan ke tempat parkir yang telah disediakan. Saat itu hari Sabtu, jadi sangat banyak kendaraan yang parkir di tempat tersebut. Area parkir dan halaman yang ada di kawasan vihara ini begitu luas, sehingga banyak tempat untuk kita berjalan-jalan, memudahkan kita mengambil foto, dan nyaman untuk menikmati suasana pagoda. Di sebelah bangunan pagoda terdapat sebuah bangunan lagi. Menurut informasi yang kami dapat, bangunan itu juga tempat ibadah bertingkat dua. Bangunan inilah yang disebut sebagai Vihara Dhammasala. Bagian pertama dipergunakan untuk ibadah sedangkan bagian lainnya digunakan sebagai gedung serbaguna atau pertemuan. Di dekat gedung ini, ada beberapa tempat penginapan semacam cottage. Kelihatannya hanya digunakan saat acara hari besar keagamaan dan hanya bisa ditempati orang-orang tertentu dan penting. Walau gak bisa masuk ke dalam cottage, menikmatinya dari luar juga sangat indah.

Oh iya, vihara yang kami ceritakan tadi dapat dimasuki lho. Hanya saja untuk menghormatinya sebagai tempat ibadah, kita harus melepas alas kaki dan tidak boleh berisik. Karena pada weekend seperti saat itu, selain wisatawan yang memadati, ada banyak pengunjung yang bertujuan untuk ibadah. Di dalamnya terdapat patung budha dan areal yang luas.

Setelah puas menikmati bangunan vihara, kami berlanjut ke bangunan pagoda. Di sekitar pagoda kami juga melihat kolam teratai, patung budha, dan patung budha yang ada di bawah pohon bodhi. Yang menarik perhatian kami adalah keberadaan patung Dewi Kwan Im yang mengelilingi pagoda dan menghadap empat penjuru mata angin. Menurut sumber dari internet, ini dimaksudkan agar Dewi Kwan Im memancarkan welas asih ke empat penjuru. Saat kami bertandang ke sana, ada beberapa pengunjung yang beribadah dan menggoyangkan batang bambu. Setelah searching di internet, ternyata ini adalah ritual untuk mengetahui nasib. Batang bambu tersebut telah diberi tanda dan bila ada yang terjatuh, dapat dibantu petugas untuk membacanya.

Perjalanan kami di vihara ini diakhiri di bawah pohon bodi. Satu hal menarik yang kami tangkap di vihara ini adalah kerukunan antara pengunjung yang beribadah dan yang berwisata. Padahal di sini berkumpul berbagai jenis agama, gender, usia, dan etnis, namun semua terlihat damai dan menikmati bangunan Pagoda Avalokitesvara dengan caranya masing-masing dan tidak saling mengganggu. Inilah pesona unik yang kami cari.

Baiklah, setelah berwefie ria, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke hotel untuk beristirahat sejenak setelah perjalanan kami ini. Oh iya sebelum lupa, di kompleks Vihara BuddhaGaya juga tersedia toilet yang bersih. Walau agak tersembunyi letaknya, namun cukup mudah dijangkau karena ada petunjuknya. Ini satu nilai plus dari sebuah tempat wisata yang mampu membuat pengunjungnya nyaman. Salut. 


Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Visit Jawa Tengah 2016 yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah @VisitJawaTengah (www.twitter.com/visitjawatengah)


  


Senin, 10 Oktober 2016

#batikIndonesia, mengerti dan berinovasi

Pengalaman Sebagai Pendahuluan
Bicara mengenai batik, aku selalu teringat akan dua pengalaman unik. Yang pertama, saat aku SMA kelas dua dan dimandatkan untuk mengikuti lomba ngadi busana yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Yogyakarta. Pada saat itu aku sama sekali tidak paham tentang apa dan bagaimana ngadi busana itu. Ternyata lomba ini adalah kompetisi memakaikan pakaian surjan dan kebaya untuk putra dan putri. Aku sama sekali tidak mengerti kenapa guru bahasa jawa memilihku karena pengalaman dan pengetahuanku saat itu sangat minim. Akhirnya aku dan temanku (yang akan dipakaikan pakaian surjannya) sempat belajar satu hari sebelum lomba kepada seorang juru rias pengantin jawa. Setelah berlatih beberapa kali, dengan penuh keraguan aku bersiap mengikuti lomba esok harinya.
Keesokan harinya, di akhir lomba, aku dan temanku sangat senang karena berhasil juara tiga. Akan tetapi, ada dua kejadian yang cukup bikin kami miris. Pertama, kami juara tiga dari enam peserta putra. Artinya, lomba tingkat propinsi ini hanya diikuti 6 pasang di kategori putra. Kedua, setelah selesai mewiru kain jarik dan memakaikannya ke temanku, dia harus fashion show di atas panggung. Setelah selesai bergaya, juri memberikan komentar dan nilai terhadap kerapian dan ketepatan mengenakan busana jawa. Ada satu komentar dari juri yang cukup membuatku malu."Secara fashion show, peserta nomer dua ini sangat luwes. Pemakaian busana jawanya cukup rapi, akan tetapi ada satu kesalahan cukup fatal. Kain jarik yang dipakai peserta bermotif Sidomukti. Kain ini dalam pemakaiannya harus hati-hati dan dipahami. Motif burung pada kain yang dipakai peserta terbalik. Dengan kata lain, pemakaian kain jariknya terbalik."

Kata-kata juri itu masih terngiang sampai sekarang. Betapa malunya saat itu karena aku hanya mengejar kelihaian cara mewiru dan teknik memakaikan, sedangkan pengetahuan tentang apa yang dipakai tidak ikut ditambah. Kemenangan saat itu terasa membahagiakan sekaligus menyesakkan.
Peristiwa yang kedua adalah keikutsertaanku dalam sebuah pelatihan atau workshop tentang batik ikat celup. Teknik membatik ini tergolong sederhana dan bisa dilakukan semua orang. Orang tersebut harus mampu menguasai teknik ikatan untuk membentuk motif dan rasa untuk memadukan warna saat dicelup. Pelatihan ini sangat ramai waktu itu. Semua berlomba mencoba dan belajar. Bahkan ada beberapa yang tertarik untuk membuat usaha batik ikat celup ini. Proses mengikat kain mampu menggantikan “malam” dan bisa menciptakan berbagai motif. Proses dan lama waktu pencelupan dapat menentukan gradasi warna yang beraneka ragam. Sungguh inovasi yang menarik untuk melestarikan batik.
Pelajaran yang didapat
Kedua peristiwa ini membuatku yakin bahwa batik sebagai salah satu warisan budaya bangsa akan tetap lestari. Hal ini dikarenakan penggemar pakaian dan kain batik semakin banyak. Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah Kementerian Perindustrian, Euis Saedah, mengatakan konsumen batik dalam negeri tahun 2010 mencapai 72,86 juta orang (Tempo.co, 2011). Selain itu modifikasi dan inovasi produk yang berasal atau berbahan dasar dari batik seperti sandal batik dan ukiran batik dapat menambah eksistensi batik di tanah air. Akan tetapi ada syarat penting saat batik ini ingin terus ada dan terjaga. Syarat tersebut adalah pahami batik itu sendiri. Peristiwa yang pertama mengajarkanku bahwa untuk berkembang kita harus tahu dan mengerti apa yang akan kita kembangkan. Artinya, batik sebagai sebuah busana bukan sekedar dipakai dan sudah dikatakan cinta batik. Lebih dari itu, untuk dikatakan cinta batik kita harus memiliki pengetahuan akan filosofi dan paham bagaimana busana ini dikenakan.
Dalam strategi pemasaran,langkah pertama yang dilakukan adalah mengenal dan memahami produk yang dipasarkan (ilmumanajemen.wordpress.com, 2008). Setelah itu baru dilakukan riset produk untuk lebih meningkatkan kualitas dan nantinya menciptakan sebuah inovasi.
Kesimpulannya
Batik seharusnya mampu terus berkembang. Karena pada awalnya, batik telah memiliki landasan filosofi dan didukung dengan kekuatan tradisi. Pengembangan batik tergantung bagaimana kita mau belajar untuk memahami batik itu sendiri. Kurikulum pembelajaran dan even lomba dapat dijadikan alat agar semua kalangan memahami apa itu batik. Jangan sampai setelah menjadi sentra batik dunia, khalayaknya masih bingung ketika ditanya tentang batik. Akhirnya, maju terus batik Indonesia.
Sumber Pustaka
https://ilmumanajemen.wordpress.com/2008/12/25/langkah-langkah-memasarkan-produk/
http://tempo.co/