Kamis, 26 September 2013

Cinta, Perenungan Akan Petualangan Hidup




Resensi Novel “Labirin Rasa”
Penulis: Eka Situmorang-Sir
Penerbit: Wahyumedia
Tahun terbit: 2013
Jumlah Halaman: vi + 394 halaman

Seringkali sesuatu yang sederhana membawa kita pada kerumitan yang tak disangka-sangka. Namun kerumitan ini dapat membawa kita lebih baik dan memahami kehidupan. Bukan hidup bila tak rumit. Karena hidup adalah jalan terjal dan butuh perjuangan untuk melewatinya. Kesan berlapis inilah yang tertangkap saat membaca novel berjudul Labirin Rasa.

Kisah novel bergulir ketika Kayla, gadis cenderung tomboy dan keras kepala, memutuskan untuk hengkang dari rumah untuk menghindari amarah papanya karena nilai kuliahnya yang menurun drastis. Kayla juga ingin menghindari pertanyaan sinis mamanya tentang pacaran, status yang belum pernah ia sandang hingga menjelang akhir kuliah. Maka dipilihlah rumah nenek sebagai pelabuhan untuk menyandarkan diri dari segala hal yang menyebalkan hatinya. Alasan Kayla sangat sederhana, nenek adalah orang kedua yang paling disayangi setelah orang tuanya dan beliau tinggal di Yogyakarta, kota yang tenang dan menyenangkan.

Sesampainya di Yogyakarta, tanpa diduga Kayla diberi oleh neneknya sebuah wasiat berupa buku dari kakeknya yang telah meninggal. Di buku tersebut, Kayla menemukan pesan kakek yang berbau ramalan tentang nasib asmaranya. Kayla yang pada awalnya membenci ramalan, menjadi mulai ragu ketika bertemu dengan Ruben, pria yang mirip dengan gambaran jodoh Kayla yang ada di pesan kakek. Kayla pun mulai bersemangat mengingat ini mungkin cinta pertama dan barangkali cinta sejatinya. Maka dimulailah perjalanan Kayla menemukan cintanya.

Ya, novel ini memang menitikberatkan pada perjalanan dan perjuangan Kayla. Pembaca diajak larut dalam pemikiran, pergolakan batin, dan apa yang dirasakan Kayla. Semua itu dilakukan penulis dengan cara yang sangat halus, sehingga sudut pandang orang ketiga yang digunakan serasa menjadi sudut pandang orang pertama karena faktor ikut merasakan. Selain itu detail penceritaan yang terasa nyata dan kejadian sehari-hari yang diangkat akan membuat pembaca bisa berkata, “Oh, kisah ini aku banget”.

Selain itu kisah novel karangan Eka Situmorang-Sir ini, sesuai dengan judulnya yang memakai kata “labirin”, membawa pembaca merenung dan berpikir tentang makna cinta dalam kehidupan. Perenungan ini terlihat dari karakter tokoh yang kuat dan lihai berfilosofi seperti saat nenek Kayla yang berkarakter bijak menasihati Kayla, “Nduk, nanti ada masanya kalau kamu tua akan ada momen-momen penyesalan bukan karena sesuatu yang kamu lakukan tapi untuk sesuatu yang tidak kamu lakukan. Memperjuangkan cintamu, misalnya.” (halaman 185).

Sayangnya, kisah yang bagus ini diawali dengan perkenalan yang cukup datar. Cerita tentang anak kabur dari rumah dan tanpa sengaja bertemu pria idaman di perjalanan merupakan awalan yang membuat novel ini sedikit “terbaca” jalan ceritanya. Tema ceritanya pun klasik, tentang menemukan cinta sejati. Akan tetapi, sang penulis cukup lihai mengembangkan tema yang sederhana ini dengan gaya menulisnya yang ringan dan mengalir. Hanya saja aliran kisah ini cukup terganggu dengan adanya beberapa kesalahan teknis pengetikan kata.

Walaupun begitu, kekurangan-kekurangan ini dapat tertutupi dengan penceritaan berbagai tempat indah yang dikunjungi Kayla. Penulis pandai dalam menceritakan adat, makanan khas, dan tempat wisata eksotik dari tempat-tempat tersebut. Keindahan penceritaan tempat ini dilengkapi dengan tampilan novel yang cantik. Sampul novel yang didominasi warna hijau segar berpadu dengan jenis font yang asyik, membuat mata betah menatap tiap paragraf. Lebih menarik dan menjadi poin tambahan dari novel ini adalah keberadaan kutipan di bawah judul tiap bab.

Akhirnya, novel ini memang berangkat dari kesederhanaan. Akan tetapi, silahkan nikmati perenungan dan pemikiran tentang rumitnya cinta dan petualangan hidup yang akan kita temui seiring terbukanya lembar demi lembar. Seperti salah satu kutipan dalam novel ini, "Life is pure adventure, and the sooner we realize that, the sooner we will be able to treat life as art - Maya Angelou (halaman 191). Serasa di labirin. 


Resensi ini diikutkan dalam Lomba Review Labirin Rasa


Tidak ada komentar:

Posting Komentar