Selasa, 17 September 2013

Saat KuBerhijab

Perjuangan untuk menjadi baik memang tak mudah. Ada saja rintangan yang menghadang. Tetapi Tuhan selalu baik sama hambanya. Selalu saja ada jalan keluar. Seperti kisahku saat mulai berhijab. Awal mula yang kelihatan tak sengaja namun penuh makna.

Kisahku dimulai ketika aku lulus smp. Saat itu secara sekilas sempat terbersit niatku untuk berhijab ketika masuk sma nanti. Setelah diterima di sebuah sma negeri, aku malah bingung saat akan menjahitkan seragamku. Karena desakan untuk segera memakai seragam saat masa orientasi siswa (mos) dimulai, aku menjahitkan kain seperti model seragam smp, baju lengan pendek dan rok pendek. Ternyata pilihanku ini membawa konsekuensi ketika kegiatan belajar mengajar telah dimulai.

Guru agamaku yang bernama Bapak Radjiman merupakan guru yang terkenal lucu tapi galak. Beliau terkenal disiplin dan tidak terlalu suka pada siswi muslimah yang tidak berhijab. Kebetulan ketika itu aku suka nge-pas datang ke sekolah. Akibatnya aku selalu duduk di bangku terdepan. Akibatnya ketika pelajaran Pak Radjiman, kami sering berhadapan langsung. Seperti yang kuduga, Pak Radjiman mengingatkanku akan pakaian seragam pendek yang kupakai. Awalnya memang hanya menasehati, namun lama-lama beliau jadi suka menyindirku. Lama-lama juga aku tidak betah dan mulai khawatir. Akhirnya aku menjahitkan kain sisa seragam dan menjadikan seragamku panjang dan memutuskan membeli jilbab sekolah.

Banyak teman yang mengejekku karena aku berhijab karena takut dengan Pak Radjiman. Mereka memang benar. Alasan awal aku berhijab memang karena takut pada Pak Radjiman. Namun hidayah Alloh memang tak terduga. Entah kenapa aku merasa nyaman memakai jilbab. Tidak seperti kata orang yang sering bilang kalau berhijab itu panas dan sumpek. Aku semakin mantap berhijab.

Akan tetapi masalah selanjutnya datang dari rumah. Ibuku memertanyakan keputusanku untuk berhijab. Ibuku yang belum berhijab waktu itu menyangka kalau berhijab itu ribet. Beliau juga menganggap jilbab itu hanya untuk orang alim. Selain itu beliau menyarankanku untuk tidak "berlebihan" dalam beragama. Alasan inilah yang membuatku terbatas berhijab waktu itu.

Aku terus berusaha menyakinkan ibu. Selanjutnya ibu mengijinkan aku berhijab, namun hanya ketika kegiatan sekolah dan pengajian di kampung. Padahal aku ingin terus memakai jilbab, tidak hanya di sekolah, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Aku merasa ada yang kurang ketika tidak memakai jilbab. Apalagi saat keluar rumah, aku merasa semua orang memerhatikanku seolah ada yang salah dengan penampilanku. Rasa aman dan nyaman seakan hilang saat aku tak mengenakan jilbab. Namun aku juga tak ingin membantah ibu. Aku tak ingin berdebat karena aku sendiri juga baru belajar dan belum bisa mempertanggungjawabkan. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk sembunyi-sembunyi dulu saat berhijab.

Hingga suatu ketika, sikap sembunyi-sembunyiku ini ketahuan ibu. Di rumah aku memang belum berhijab, namun ketika aku keluar rumah, aku berusaha berhijab. Nah, saat mau ke toko, aku simpan jilbab sekolah di balik baju dan menunggu ibu tidur siang. Merasa aman aku keluarkan sepeda motor. Sampai di pintu gerbang, aku mulai mengenakan jilbabku. Dasar nasib apes, tiba-tiba ibu keluar dari pintu depan dan melihatku berhijab. Ada pandangan tidak suka dari beliau. "Halah, mau keluar sebentar aja harus pakai jilbab, apa ngga repot?" tegur ibu saat itu.

Dua tahun sudah aku mempertahankan sikapku untuk berhijab sembunyi-sembunyi. Jilbab yang kumiliki hanya ada tiga dan itu jilbab sekolah semua. Keadaan ini bertahan hingga aku kelas tiga sma. Kondisi mulai berubah saat aku sekeluarga ikut mengantarkan eyang yang mau naik haji. Ketika berangkat dari rumah ke tempat eyang, aku masih tidak mengenakan jilbab. Jilbab hanya kusimpan di tas. Hingga acara pertemuan keluarga besar dimulai. Aku keluar dengan jilbabku. Semua keluarga menatapku saat itu. Beberapa tersenyum dan yang lain biasa saja. Kebetulan keluarga besarku juga belum akrab dengan jilbab. Tetapi tanteku yang tidak berhijab bilang kalau bagus jika aku berhijab sekarang. Berkat sanjungan itu, aku bisa memakai jilbabku saat pulang dari pertemuan keluargaku.

Beberapa waktu kemudian, tiba-tiba ada jilbab berwarna gelap di lemari pakaianku. Jilbab siapa ini? Tak disangka ternyata ibu yang membelikan. Aku bahagia banget saat itu. Ternyata usahaku tidak sia-sia. Inilah jilbab pertamaku selain jilbab sekolah. Inilah tanda ibu mulai menerima keputusanku.

Aku semakin bahagia karena beberapa pekan setelah itu, ibu mendapat tugas mengajar di sma swasta Islam di mana guru di sana wajib berhijab. Kewajiban berhijab membuat ibu mencobanya. Kebiasaan beliau melihatku berhijab dan kenyamanan saat pertama memakai, membuat ibu tak lama setelah itu memutuskan untuk berhijab. Aku bersyukur sekali dengan kejadian ini.

Sekarang semua telah berubah. Jilbab telah populer dan menjadi trend tersendiri. Dulu aku selalu dipandang kuno oleh orang karena asing dengan jilbab. Sekarang jilbab begitu menarik dan beragam. Semua orang mulai biasa berhijab. Hampir semua wanita muslimah di keluarga besarku juga telah berhijab sekarang. Ibu dan aku juga semakin sering berkreasi dengan jilbab yang kami pakai. Koleksi jilbabku pun semakin banyak. Syukur Alhamdulillah.

Di akhir tulisan ini, aku ingin berterima kasih pada Pak Radjiman. Beliaulah yang menuntunku pada hidayah Alloh. Aku sangat sedih ketika beliau tak ada. Semoga beliau diterima di sisiNya. Terima kasih Pak.             

1 komentar:

  1. sudah aku baca dan aku terima ceritanya...
    semoga selalu istiqomah ya...
    terimakasih ikutan acara GA pertamaku

    BalasHapus